Beli Kodom Sutra

Cerita Anak Bangsa

TIDAK SEMUANYA ANAK JALANAN MALAS

Suatu hari aku bermobil dengan beberapa teman. Di hampir setiap perempatan yang dilewati selalu ada sekumpulan orang. Mereka itu ngamen, ngemis, bawa bulu-bulu untuk membersihkan kaca mobil, jual koran, dsb. Kayaknya itu sudah menjadi pemandangan biasa di jalanan.

Di salah satu perempatan, ketika berhenti karena lampu lagi merah, seorang teman tiba-tiba berkomentar,

“Orang-orang itu malas banget. Mestinya mereka bisa bekerja dengan lumrah, bukannya malas-malasan ngemis dan nodongin orang.”

Komentar yang juga lumrah. Mereka itu tampak sehat walaupun dekil. Spontan aku turunkan kaca mobil. Kupanggil salah satu anak yang lagi mendekat membawa ecek-ecek dari tutup botol.

“Bang, temenku ini mau omong,” panggilku.

Temanku kaget. Pandangan melotot mengandung ancaman diarahkan kepadaku. Tetapi, dia mengulang celutukannya tadi. Dengan kalimat yang lebih sopan, tentunya. Si anak remaja itu dengan tenang mengulurkan tangan tertadah ke dalam mobil dan berkata,

“Kalau Oom bisa memberi saya pekerjaan…apa pun…cabutin rumput, ngurusin sampah, bersihin wc…akan saya kerjakan, Oom.”

Di depan, lampu hijau menyala. Tidak ada waktu lagi buat ngobrol, diskusi, atau pun rapat. Kuletakkan dua logam limaratusan di tangannya sembari pamit dan cabut.

Sambil mengemudi, kurasakan kata-kata si remaja tadi menghantami benakku. Betapa sering aku sendiri menggeneralisasi orang-orang ini. Berada di jalanan berarti malas, tidak mau cari pekerjaan yang layak, tidak mau kerja keras, memilih cara yang gampang untuk cari duit, dst. Vonis yang kayaknya terlalu pagi. Bisa jadi dari antara mereka memang ada yang seperti itu. Tapi, mestinya ada juga orang-orang yang sudah berusaha – dengan cara mereka – dan selalu ketemu jalan buntu. Pasti ada pula yang memang sungguh terdesak dan jalanan menjadi solusi.

Aku jadi ingat anak-anakku. Kebanyakan dari mereka berada di jalanan bukan karena malas. Ada yang lari karena tidak diakui sebagai anak oleh orang tua. Ada yang orang tuanya terlalu miskin untuk menghidupi terlalu banyak anak. Beberapa sudah tidak punya orang tua. Mereka bekerja di jalanan agar tetap bisa makan. Syukur kalau masih bisa sekolah dari hasil ngamen. Aku kenal dua-tiga anak yang keluar dari sekolah dan ngamen untuk biaya sekolah adik-adik mereka. Jalanan menjadi solusi bagi orang-orang ini. Tetapi, semua fakta itu ternyata belum mempertobatkan persepsiku tentang hidup di jalanan.
 

FENOMENA ANAK JALANAN

"Jreng... jreng... 100 pak..."
"Plok... plok... cepek mas..."

Fenomena diatas sering kita jumpai di jalan-jalan... di perempatan jalan... di pemberhentian lampu lalu lintas. Kita sering menyebut mereka sebagai pengamen atau anak jalanan. Apakah sebenarnya definisi anak jalanan?

Menurut departemen sosial, seseorang akan dikatakan anak jalanan bila:

1. Berumur dibawah 18 tahun
2. Berada dijalan lebih dari 6 jam sehari, 6 hari seminggu

Apa yang kita lihat sekarang dijalan-jalan? Apakah sudah memenuhi kriteria sebagai anak jalanan?

Ada berapa type anak jalanan?
Anak-anak jalanan mempunyai type:

1. Anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal dengan orang tua.
2. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua.
3. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga.
4. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.

Mengapa mereka tetap menjadi anak jalanan?
Banyak penampungan, rumah singgah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurus masalah anak jalanan, tapi anak-anak jalanan makin banyak dan malah berkembang semakin pesat. Yang sudah di sekolahkan malah keluar dari sekolahnya serta kembali menjadi pengamen dan peminta-minta. Menurut teori reinforcement: "sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari". Mereka menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen / meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Apalagi sekarang ini menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang "TOP", mereka diundang dan dapat bersalaman dengan presiden pada hari kemerdekaan / hari anak-anak / hari khusus lainnya, itu adalah sesuatu reinforcement yang hebat.

Bagaimanakah anak-anak jalanan itu menurut teori psikoanalisis?
Menurut teori Sigmund Freud, manusia memiliki Id, Ego dan Superego. Id adalah keinginan / hasrat badaniah manusia, misalnya ingin makan, ingin minum, hasrat sex, dll. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada diluar dirinya, mengatur kepribadian, tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas. Superego merupakan kode moral seseorang, yang memberikan larangan-larangan bila dianggap tidak benar. Manusia dianggap ideal bila memiliki Id, Ego dan Superego yang sama besar, yang seimbang. Anak-anak jalanan memiliki Id yang lebih besar dari pada Superego. Ini terbentuk karena tidak adanya didikan, sopan santun dan tata krama dari orang tua. Seorang anak akan dimarahi dan diperingati oleh orang tua mereka bila makan sambil jalan sehingga superego mereka akan terbentuk (bahwa makan sambil jalan itu adalah sesuatu yang tidak benar) tetapi seorang anak jalanan tidak pernah ada yang memperingati mereka bila mereka kencing sambil berjalan sekalipun.

Dulu sering kita melihat anak-anak jalanan mencoret mobil bila tidak diberi uang, kenapa mereka mempunyai keberanian seperti itu?
Menurut teori share responsibility, seseorang akan lebih berani melakukan sesuatu bila bersama-sama dengan kelompoknya. Seorang cewek tidak akan berani melakukan sesuatu bila ada cowok yang lewat, tapi bila dia berada didalam suatu kelompok, dia akan berani bersiul dan mungkin akan berseru: "Cowok... godain kita dong.." Bila seseorang berada didalam kelompok, rasa tanggung jawab, mereka pikul bersama-sama.

Bagaimana kita melihat fenomena anak jalanan sekarang ini? Bagaimana penanggulangannya? Apakah itu urusan pemerintah? Ataukah kita sebagai masyarakat juga ikut bertanggung jawab dalam masalah ini? 


0 Response to "Cerita Anak Bangsa"